REMEDI DI TAHUN 2023

Kalau tahun 2022 kemarin aku dengan angkuh bilang kalau merasa “content”. Iya, dari semua aspek kehidupanku, aku merasa cukup, penuh, dan utuh. Sayangnya semua itu tidak berlanjut di tahun ini. 


2023 dibuka dengan “PR” dalam jumlah banyak yang harus aku kerjakan. Karena jumlahnya tak sedikit, hampir setiap hari aku menyicil PR tersebut dengan susah payah. Meski sudah berusaha maksimal, terkadang PR yang kukerjakan hasilnya tetap jelek, kadang kukumpulkan pas deadline, bahkan terkadang PR kulewatkan begitu saja. 

Hal-hal itulah yang membuat rasa kekecewaan dan kegagalan untuk diriku sendiri. Meski begitu, sayangnya aku sama sekali tak memikirkan untuk membereskan semua kekacauan tersebut. 


Aku terus melangkah, menambal satu demi PR yang terlewat dengan kesenangan yang fana. Lega rasanya, meski hanya sementara. Di setiap malam, pikiranku tetap dipenuhi cara bagaimana menuntaskan PR yang jadi hutang. 

Alih-alih menyelesaikannya, perhatianku justru terfokus pada satu orang yang aku sayangi dengan tulus. Semangatku ikut membara dengan ambisinya, tanganku selalu terbuka saat ia mengeluh lelah akan semua, juga mengiringi segala langkahnya dengan doa yang kurapal ke Yang Maha Bijaksana. Lama-kelamaan aku lupa PR ku, diriku sendiri. Dengan segala keterbatasanku, ku kerahkan seluruh kepercayaan dan sisa-sisa tenaga dengan menggenggam tangannya. 


Dengan kehadirannya, semua PR yang awalnya terasa berat, terasa jauh lebih ringan. Meskipun sama sekali tak kubagi, seenggaknya dengan hadirnya dia, aku jadi lupa akan beban tersebut. 


Hari-hari terus berjalan, minggu ke minggu, bulan ke bulan, semuanya justru terasa lebih membingungkan. PR ku tak kunjung selesai dan pegangan tangan kami pun renggang tanpa alasan yang jelas. Ragu, muak, mual, sedih, semua-muanya terkumpul jadi satu. Aku sampai lupa terakhir aku tertawa dengan lepas karena pikiranku dipenuhi keraguan. Nggak bohong, rasanya sepanjang tahun ini ku seperti pasien yang sedang berobat jalan. 


Karena sadar, diri ini adalah makhluk yang kecil dan tak berdaya, lagi dan lagi aku hanya bisa mengandalkan Sang Maha Bijaksana. Sesekali mengirim pesan ke Mamah dan Bapak untuk minta doa anak sulungnya ini selalu dikuatkan. Saat semuanya sudah terasa di ujung, aku cuma bisa memeluk diri sendiri sambil terus meyakini kalau....

Allah itu dekat, 

Allah itu dekat, 

dan Allah itu dekat. 

Alhasil, sesak di dada pun hilang dengan sendirinya. 


Di bulan terakhir 2023 ini, Allah seakan-akan menjawab semuanya secara bertahap. Aku disuruh menyusun setiap potongan puzzle jawaban tanpa repot-repot aku mencarinya. Tanganku tak kotor sama sekali, namun Ia langsung taruh semuanya di depan mataku. 


Kepingan puzzle yang berisi kebohongan dan pengkhiatan ku susun pelan-pelan dengan tangisan. Rasa sakit yang belum pernah ku rasa sebelumnya selama aku hidup di 25 tahun ini. Seluruh kepercayaan dan kekuatanku rasanya diambil semua tanpa tersisa. Sambil tangan bergetar, tetap ku susun semua potongan puzzle yang Allah tunjukkan. 

Nggak sampai terbentuk utuh, aku memilih untuk menyerah. Sudah habis tenagaku. Jangankan soal menyusunnya sampai selesai, caci maki atau sumpah serapah pun tak kuizinkan keluar dari mulutku untuk cowok berengsek seperti itu. 

Ku tutup susunan puzzle itu dalam kondisi jiwaku yang hancur. Dengan tertatih-tatih ku susun lagi rasa percaya diri sekaligus memaafkan diriku sendiri. Mungkin semua-mua ini memang jawaban dari doa yang kurapal terus-menerus. Tanpa sepenuhnya kusadari hidupku pelan-pelan diisi dengan banyak kasih sayang lewat penjuru yang lain. 


Sambil ku peluk luka, aku terus meminta maaf kepada diriku sendiri. Karena setahun ini rasanya aku mengabaikan feelingku, bahkan aku mengizinkan orang-orang membohongiku. Rasanya nggak mudah untuk mengakui sekaligus memafkan di waktu yang bersamaan. Dengan segala pertanyaan yang ada di kepala, lagi dan lagi aku mikir--apakah ini sebuah karma?

Tahun ini aku gagal sepenuhnya untuk jadi diriku sendiri. Nilai akhirku bahkan di bawah KKM dan memang layak untuk mengulangi itu semua. 



Komentar