SEQUENCE AKHIR

Setelah menata hati selama seminggu, aku baru bisa menulis tulisan ini dengan perasaan yang lebih tenang. Meski nggak menjamin, air mata akan jatuh lagi, tapi aku janji, ini yang terakhir, terakhir tulisanku untukmu. Dan semua-mua hal yang menyangkut tentangmu. 



Seminggu yang lalu, kamu datang ke Jogja. Tempat yang satu tahun setengah ini selalu kamu datangi minimal sebulan sekali. 


Biasanya, aku tidak sabar menunggu hari kedatanganmu. 

Biasanya, hari itu aku semangat menyelesaikan pekerjaan di awal waktu, agar bisa menjemputmu di stasiun. 

Menjemputmu di depan pintu kedatangan dengan senyuman lebar dan pelukan hangat. 

Tapi, hari itu beda. 


Hari itu, rasa tidak sabar berubah menjadi rasa takut. 

Aku bingung, kenapa rasa takut justru mendominasi saat aku ingin bertemu pujaan hatiku? 

Sayangnya, aku juga nggak menemukan jawabannya sampai sore hari pun datang. 


Sebelum beranjak dari meja kantor, aku sempat meminta doa dari orang-orang terdekat. Minimal, dengan kata-kata mereka, doa mereka, ada kekuatan yang Tuhan kirimkan untuk diriku yang lemah ini. 


Dengan segala kebingungan yang kurasa, ku lipat jarak itu. Bukan di stasiun, aku langsung menemuimu di salah satu restoran. Restoran yang jadi salah satu tempat favorit kita. Namun, setelah aku sampai dan pintu restoran kubuka, kamu tidak memilih tempat duduk seperti biasa, bahkan menu makan yang kamu pesan pun berbeda. 


Karena dipenuhi rasa takut, nafsu makanku pun kalah. Puluhan menu makanan dan minuman di restoran itu sama sekali tak menarik perhatianku. Aneh, kan?


Obrolan pun dibuka sambil sesekali kamu menyantap makananmu yang sudah datang. Pertanyaan basa-basi yang kujawab hanya dalam sekalimat sudah terjawab dengan sempurna. Sungguh, di waktu itu, aku merasa aku sedang menemui orang yang berbeda, bukan laki-laki yang selama ini kukenal. 


Setelah basa-basi belaka, kamu bertanya apa penyebab aku menangis akhir-akhir ini. Ku jelaskan secara runtut sambil sesekali mengelap air mataku yang terjatuh. Ku akhiri kalimatku, “Aku nggak tahu semua itu karena kita belum menemukan solusinya atau kita yang emang nggak mau nyari solusinya," ucapku.


Semua pertanyaan yang kulontarkan sama sekali tak dijawab olehmu. Hanya ada kalimat, “Aku nggak bisa nemuin lagi apa yang harus diperjuangin dari hubungan ini," jelasmu.


Ternyata, ini jawaban dari segala rasa takut yang kurasa. Sambil mencoba mengurai semuanya, berkali-kali kutawarkan solusi lain. Tapi kamu menggelengkan kepala, kekeuh kalau ini keputusan bulat yang sudah dipikirkan matang-matang. 


Seluruh momen menyenangkan dan menyedihkan yang sudah dilalui satu tahun setengah menurutmu belum cukup untuk menjawab segala ketakutanmu akan masa depan. Ketakutanmu dan ekspektasimu yang membuat semuanya jadi beban yang berat. Padahal, aku sama sekali tak pernah meminta lebih. 


Setelah berusaha mempertahankan sekuat tenaga, aku juga nggak punya pilihan lain. 


Bahkan saat memperhatikan matamu, gaya bicaramu, sampai kamu menyebutkan namaku—yang selama satu tahun setengah ini tak pernah kudengar, aku tahu, sudah tidak ada lagi aku di hatimu. Bukankah ini yang lebih terasa menyakitkan?


Aku menyerah, sambil mencoba sekuat tenaga untuk pulang. Helm dua yang sudah bertengger di motorku pun aku bawa pulang kembali tanpa sekalipun terpakai. 


Malam itu, aku masih mencerna sebenarnya alasanmu apa. Salahku apa. Kurangku dimana. Sambil membereskan segala barang-barang pemberianmu ke dalam box. Tak habis pikir, momen ini benar-benar terjadi di hubungan kita. 


Seluruh pertanyaan memenuhi isi kepalaku. Lagi dan lagi hal itu membuat nafsu makanku hilang begitu saja. 


Karena tak kunjung dapat jawaban atas semua pertanyaanku, beberapa dialog pun aku buka ke teman-teman terdekatku. Jawaban-jawaban mereka harusnya bisa membuat rasa benci itu timbul. Bahkan menurut mereka, perpisahan ini merupakan jawaban Allah menyelamatkanku. Aku harap memang begitu, ya. 


Hari-hari pun tetap aku lalui seperti biasa. Bekerja sampai capek dengan tujuan agar aku lupa dengan cara instan. Tapi semakin aku paksa, ternyata luka itu semakin terasa menganga. Tangisku pecah lagi di tengah menulis artikel soal memasak, sial. 


Tapi semua itu berangsur membaik seiringnya waktu. Aku janji batas waktu yang aku kasih untuk segala kesedihan itu hanya berjumlah 7 hari. Soal alasanmu yang masih belum kuketahui sampai sekarang, biar jadi rahasia saja. Lagian, bukannya tidak ada alasan--juga merupakan suatu alasan?


Aku mungkin tidak bisa lupa dan tidak akan pernah bisa. Mulai dari jalan-jalanan yang pernah kita lalui, dari tempat makan yang pernah kita coba, sampai hal-hal yang pernah kita lakukan bersama. Bahkan sampai sekarang aku masih belum cukup ber-energi untuk menghapus segala foto dan video yang pada akhirnya nggak pernah ter-upload itu. Semua-muanya akan tersimpan dengan baik entah di sudut memori dan ruang hati kecilku. 


Untuk sisanya, aku sedang berusaha untuk menetralkan perasaanku. Perlahan-lahan menghapusnya sampai habis tak tersisa. 


Aku tahu dan paham betul, nggak ada perpisahan yang baik-baik saja. Ia tetap meninggalkan luka bagi kedua belah pihak. Untuk itu, aku meminta maaf atas semua luka yang aku perbuat, sekaligus ber-terima kasih untuk segala momen-momen yang terjadi selama satu tahun setengah ini. 


Seperti judulnya, tulisan ini jadi sequence akhir di hubungan kita. Benar menurutmu, segala keputusan di akhir terkadang nggak selalu menyenangkan. Tapi, siapa yang tahu, jika perpisahan ini justru jadi awal sequnce di kehidupan lain yang lebih menyenangkan? Ku harap begitu.  





Komentar